Minggu, 06 Mei 2012

Aspek – Asapek Pendidikan


Pendidikan budi pekerti atau pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak adalah dasar dan fundament bagi semua pendidikan yang lain . karena pendidikan menyangkut pendidikan moral.
Pendidikan kecerdasan. Pendidikan kecerdasan adalah merupakan tugas pokok dari sekolah disamping tugas – tugas yang lain. Tujuan pendidikan kecerdasan ini adalah mendidik anak agar mampu berfikir secara kritis, logis, kreatif, dan berfikir secara reflektif.
Pendidikan social atau kemasyarakatan. Pendidikan ini berhubungan dengan pergaulan anak didik dan proses adaptasi lingkungan. Pendidikan social bertujuan untuk mendidik anak agar dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan bersama dan dapat ambil bagian atau berpartisipasi secara aktif didalmnya.
Pendidikan kewarga negaraan .  manusia selain hidup berkelompok kecil yaitu keluarga juga manusia terkelompok dalam kelompok besar yaitu negara. Oleh karena itu pendidikan dirasa penting untuk diberikan guna memberi wawasan pada anak didik agar kelak menajadi warga yang baik dan berguna.
Pendidikan keindahan atau estetika. Pada dasarnya pendidikan estetika bukanlah aspek yang begitu penting namun sesuatu tentang keindahan itu ada dalam setiap aspek kehidupan kita. Oleh karena itu tak salah tentunya kalau hal ini juga dipelajari. Pendidikan ini bertujuan agar semua anak mempunyai rasa keharuan terhadap keindahan.
Pendidikan jasmani . pendidikan ini tidak hannya utnuk membentuk tubuh yang atletis , melainkan juga bertujuan untuk membentuk watak.
Pendidikan Agama.  Agama tidak lain adalah sumber moral. Oleh karena itu tujuan pendidikan agama tidak lain adalah menuntun anak untuk menjadi anal yang bermoral, manusia yang berbudi luhur, manusia yang bertaqwa kepada tuhan, manusia yang meyakini dan mengamalkan ajaran – ajaran agama.
Pendidikan kesejahteraan keluarga, tujuan pendidikan ini secara luas adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan dan penghidupan keluarga, untuk terwujudnya keluarga yang sejahtera menuju kepada terwujudnya masyarakat yang sejahtera.

Selasa, 01 Mei 2012

Pendidikan dan Kebangkitan

Bulan Mei memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia. Setiap tahun pada bulan kelima itu, bangsa Indonesia memperingati dua peristiwa bersejarah, yang akhirnya membawa Negara Indonesia dapat tegak berdiri sebagai bangsa merdeka yang bermartabat. Peristiwa penting yang setiap bulan Mei itu kita peringati adalah Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Bangsa.
Tanggal 2 Mei kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional karena pada tanggal itulah lahir seorang pejuang besar, Ki Hadjar Dewantara yang mendarmabaktikan seluruh hidupnya bagi kemajuan bangsa dan Negara melalui bidang pendidikan. Beliau adalah orang Indonesia pertama yang meletakkan dasar pendidikan nasional kita, yaitu paduan yang utuh antara kecerdasan fikiran, keluhuran budi pekerti dan semangat kebangsaan. Sebagai penghormatan kepada cita-cita pejuang besar itulah tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tujuannya adalah untuk selalu mengingatkan kita semua mengenai arti penting pendidikan bagi kelangsungan dan kemajuan Indonesia. Sebuah cita-cita dan perjuangan yang relevan dan tidak terbantahkan kebenarannya untuk selalu diperjuangkan sepanjang zaman.
Tanggal 20 Mei kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena pada tanggal itulah lahir sebuah organisasi/perkumpulan Budi Utomo. Budi utomo lahir didorong oleh kesadaran yang tinggi dari kaum muda terpelajar yang ingin membebaskan diri dari cengkeraman penjajah. Walaupun disana sini masih diwarnai oleh sifat kedaerahan, namun kelahiran Budi Utomo menandai babak baru bangkitnya kesadaran nasional bangsa Indonesia. Kesadaran bahwa kita hanya bisa membebaskan diri dari belenggu penjajahan apabila kita berjuang dengan cara-cara yang sesuai dengan zamannya dan bersatu padu sebagai bangsa.
Ada kaitan yang erat antara pendidikan dengan kebangkitan suatu bangsa. Tumbuhnya kesadaran baru ataupun pembaharuan-pembaharuan di suatu Negara, hampir dapat dipastikan dipelopori oleh kaum muda terpelajar yang memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi. Tanpa adanya kaum terpelajar yang memiliki wawasan kebangsaan, sulit kita membayangkan adanya era perjuangan baru yang kita namakan kebangkitan nasional. Budi Utomo dipelopori oleh pemuda-pemuda kita yang mengenyam pendidikan tinggi. Budi Utomo memberi kesadaran baru bagi berbagai suku di Negara kita, bahwa kita adalah bangsa besar yang hidup dalam sebuah Negara besar. Perjuangan menghadapi penjajah tidak mungkin lagi dilakukan secara local dan sendiri-sendiri, tetapi harus dilakukan dalam bentuk nasional dan bersama-sama. Dengan adanya Budi Utomo, setahap demi setahap tumbuh semangat keindonesiaan, tanpa mempersoalkan perbedaan suku, daerah, asal usul ataupun agama. Kesadaran kebangsaan itu akhirnya mewujudkan dan melahirkan Sumpah Pemuda yang menegaskan seluruh bangsa Indonesia bahwa kita bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu ialah Indonesia. Puncaknya adalah keberhasilan bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Melihat sejarah kita dimasa lalu dikaitkan dengan perjalanan bangsa kita ke depan, tentu kita merasa prihatin. Wawasan kebangsaan bangsa kita yang dibangun setahap demi setahap memang tidak ada keraguan bagi kita, namun bagaimana dengan dunia pendidikan? Ada beberapa hal yang merisaukan kita. Bukankah para pemuda dan pelajar kita dewasa ini begitu bangga dengan predikat lulusan luar negeri. Padahal dahulu berlaku sebaliknya. Dahulu para pemuda dan pelajar Negara-negara tetangga sangat bangga apabila dapat mengenyam pendidikan di perguruan-perguruan tinggi kita, serta para dosen dan guru-guru kita banyak diminta untuk mengajar di sekolah-sekolah mereka. Tentu ada yang salah dengan dunia pendidikan kita. Hal ini hendaknya menjadi pembelajaran bagi kita bahwa meningkatnya rasa kebangsaan harus diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya dari pendidikan. Sejarah adalah pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga bagi perjalanan bangsa selanjutnya. Dengan belajar dari sejarah sendiri, kita akan lebih hati-hati serta arif dan bijaksana dalam menentukan arah perjalanan bangsa kedepan. Dewasa ini, kita memang merindukan pemikiran dari sosok-sosok seperti Ki Hadjar Dewantoro, dr. Wahidin Sudiro Husodo, dr. Sutomo dan dr. Suwardi Surjaningrat.

Munculnya berbagai rencana Indonesia masa depan hendaknya disambut dengan baik namun kritis. Dalam hal ini yang penting adalah wawasan strategis, semangat berkorban, dan aksi bersama merupakan modal sejarah dari tokoh dan organisasi sosial-politik pada masa lalu.
Sejauh manakah kebangunan atau kebangkitan ini menghasilkan kemajuan bagi Indonesia sekarang serta menjadi modal dan energi sosial bagi masa depan?

Pemikiran cerdas Ki Hajar Dewantara

Proses pendidikan dalam sebuah pemikiran cerdas untuk mendirikan sekolah taman siswanya, jauh sebelum Indonesia mengenal arti kemerdekaan. Konsepsi Taman Siswa pun coba dituangkan Ki Hajar Dewantara dalam solusi menyikapi kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan yang terjadi saat itu, sebagaimana digambarkan dalam asas dan dasar yang diterapkan Taman Siswa.
Apakah pendidikan Indonesia sekarang sudah menggambarkan pola pikir pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara dahulu?
Orientasi Asas Dan Dasar Taman Siswa Dari Ki Hajar Dewantara Pernyataan asas Taman Siswa di tahun 1922 diupayakan sebagai asas perjuangan yang diperlukan pada waktu itu menjelaskan sifat taman siswa pada umumnya.

Asas Taman Siswa memuat 7 pasal, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut. 
Pasal ke-1 dan 2 mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya. Pasal 1 juga menerangkan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati.
Hak mengatur diri sendiri berdiri (Zelfbeschikkingsrecht) bersama dengan tertib dan damai (orde en vrede) dan bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei). Ketiga hal ini merupakan dasar alat pendidikan bagi anak-anak yang disebut “among metode” (sistem-among) yang salah satu seginya ialah mewajibkan guru-guru sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi dengan memberi kesempatan anak didik untuk berjalan sendiri. Inilah yang disebut dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”.

Pasal ke-3 menyinggung masalah kepentingan sosial, ekonomi dan politik kecenderungan dari bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dan penghidupan ke barat-baratan telah menimbulkan kekacauan. Sistem pengajaran yang terlampau memikirkan kecerdasan pikiran yang melanggar dasar-dasar kodrati yag terdapat dalam kebudayaan sendiri.

Pasal ke-4 menyangkut tentang dasar kerakyatan untuk memepertinggi pengajaran yang dianggap perlu dengan memperluas pengajarannya.

Pasal ke-5 memiliki pokok asas untuk percaya kepada kekuatan sendiri.

Pasal ke-6 berisi persyarat dalam keharusan untuk membelanjai sendiri segala usaha Taman Siswa.

Dan pasal ke-7 mengharuskan adanya keikhlasan lahir-batin bagi guru-guru untuk mendekati anak didiknya.

Pernyataan asas yang berisi 7 pasal tersebut, sesungguhnya merupakan pengalaman dan pengetahuan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan barat yang mengusahakan kebahagian diri, bangsa dan kemanusiaan.
Adapun Dasar Taman Siswa di tahun 1947 merupakan susunan dasar yang memuat perincian dasar-dasar yang terpakai di dalam Taman Siswa sejak berdirinya di 1922 hingga seterusnya, baik yang terkandung di dalam keterangan asas-asasnya maupun yang terdapat di dalam segala peraturannya.
Dasar Taman Siswa tahun 1947 terkenal dengan nama Panca Dharma yang memuat :
1.  Dasar Kemerdekaan
2.  Dasar Kebangsaan
3.  Dasar Kemanusiaan
4.  Dasar Kebudayaan
5.  Dasar Kodrat Alam
Kesemua dasar ini sama sekali tidak bertentangan dengan asas 1922 yang menjadi pijakan awal Ki Hajar Dewantara dalam merintis pendidikan di Indonesia, karena poin-poin penting yang termaktub dalam dasar Taman Siswa ini hanyalah mempertegas dari hal-hal yang telah dikemukan dalam Asas Taman Siswa.
Pemikiran cerdas di dalam memberikan tuntunan dasar akan pentingnya keteladanan, keuletan dan kesabaran di dalam belajar telah menjadi esensi penting di dalam modal utama untuk memperbaiki kualitas pendidikan saat ini. Contoh lainnya adalah Keikhlasan lahir batin bagi pendidik untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kurang begitu ditanamkan dewasa ini, mengingat semua pengabdian mesti tereprisalkan dalam bentuk materi (uang).
Oleh karena itu, dalam era sekarang eksistensi roh pendidikan seperti yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara hendaknya tetap menjadi pola-pola pikir yang terus didayakan oleh generasi muda, karena bagaimanapun juga mengubah Indonesia menjadi lepas dari belenggu penjajahan tidak lain adalah karena pendidikan. Maka berhati-hatilah dalam menyusun kebijakan pendidikan.
Upaya menjunjung derajad bangsa akan berhasil, apabila dimulai dari bawah, karena Rakyat sebagai sumber kekuatan, sehingga harus mendapatkan pengajaran agar pandai melakukan upaya bagi kemakmuran negeri.
Pengajaran berarti mendidik anak untuk mencari sendiri ilmu pengetahuan yang perlu dan baik untuk lahir, batin, dan umum, guru harus mampu mendidik anak-anak untuk mandiri dan merdeka.  Karena pendidikan harus bisa memerdekakan manusia dari ketergantungan kepada orang lain dan bersandar pada kekuatan sendiri.
Pendidikan merupakan tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak dalam segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu (hidup batin dan hidup lahir), agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Sehingga para pendidik hanya dapat menuntun tumbuh dan hidupnya kekuatan-kekuatan itu agar dapat memperbaiki lakunya, (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya.
Pertumbuhan anak-nak tergantung kodrat dan keadaan masing-masing. Anak yang tak baik dasar jiwanya dan tidak mendapat tuntunan pendidikan, dikhawatirkan akan menjadi orang jahat kalau tidak ada tuntunan. Dengan tuntunan tersebut seorang anak akan mendapat kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan menjauhnya dirinya dari pengaruh jahat, buruk.

Bibit yang tidak baik, tetapi selalu dipelihara dengan baik hasilnya akan lebih baik daripada yang tidak baik lainnya (tidak dipelihara). Memperbaiki lakunya, bukan dasarnya hidup dan tumbuhnya.

Ia dengan tegas menolak pendidikan yang terlalu mengutamakan intelektualisme dan mengorbankan aspek kerohanian atau jiwa para siswa. akhirnya beliau memutuskan untuk mendirikan sebuah sekolah yang menawarkan pendidikan berorientasi kepada kebudayaan timur dan mengedepankan nilai-nilai kerohanian yang dibarengi dengan kekuatan intelektual.

Konstruktivisme dalam Pemikiran

Membaca tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, saya teringat pada pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan. Keduanya sama-sama menekankan bahwa titik-berat proses belajar-mengajar terletak pada murid. Pengajar berperan sebagai fasilitator atau instruktur yang membantu murid mengkonstruksi koseptualisasi dan solusi dari masalah yang dihadapi. Mereka beperpendapat bahwa pembelajaran yang optimal adalah pembelajaran yang berpusat pada murid (student center learning).
Kesamaan ini saya kira bukan suatu kebetulan. Konstruktivisme yang sudah besar pengaruhnya sejak periode 1930-an dan 1940-an di Amerika, juga di Eropa, secara langsung atau tidak langsung dasar-dasarnya pernah dipelajari oleh Ki Hadjar. Dasar pertama yang dari pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan adalah ‘teori konvergensi’ yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan (nature) dan faktor pengasuhan (nurture). Dalam tulisannya berjudul ”Tentang dasar dan ajar” di Pusara Nopember 1940-Jilid 9 no. 9/11, Ki Hadjar menunjukkan keberpihakannya kepada teori konvergensi. Menurutnya, baik ‘dasar’ (faktor bawaan) maupun ‘ajar’ (pendidikan) berperan dalam pembentukan watak seseorang.

Dari Teori Konvergensi ke ‘Sistem Merdeka’
Dalam penerapannya di bidang pendidikan, oleh Ki Hadjar teori konvergensi diturunkan menjadi sistem pendidikan yang memerdekakan siswa atau yang disebutnya ‘sistem merdeka’. Dalam tulisan “Ketertiban, Perintah dan Paksaan. Faham Tua dan Faham Baru” yang dimuat di Waskita edisi Mei 1929-Jilid I no. 8, Ki Hadjar mengemukakan 10 syarat untuk melakukan ‘sistem merdeka’ agar memperoleh hasil yang baik. Inti dari syarat-syarat itu dalam hemat saya adalah memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pembelajaran, mencakup pembelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakan sesuai dengan hukum sebab-akibat dan kesadaran tentang pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka. Ki Hadjar menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya. Menjadi manusia merdeka berarti (a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan (c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak bisa disetir.

Jika dicermati, maka ‘sistem merdeka’ dari Ki Hadjar sejalan dengan pandangan konstruktivisme. Dasar pemikiran konstruktivisme adalah: pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian (Bettencourt, dalam Suparno, 1997). Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri.

Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach & Tobin, 1992). Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan percikan pemikiran (insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar (Novak & Gowin, 1984). Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan.

Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki Hadjar yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya perlu dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah (dalam bahasa Jawa = dhawuh). Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai “berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan...” Menurutnya, jangan ada perintah dan paksaan dalam pendidikan. Pendidik adalah orang yang mengajar, memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka “ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan.” Ini mengingatkan saya kepada teori perkembangan dari tokoh psikologi kognitif, Jean Piaget (1954), bahwa anak mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan objek-objek di lingkungan. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Teori Piaget juga merupakan salah satu dasar dari konstruktivisme. Ini menunjukkan adanya kesesuaian antara pemikiran Ki Hadjar dan konstruktivisme.

Ki Hadjar dan konstruktivisme sama-sama memandang pengajar sebagai mitra para siswa untuk menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Kegiatan mengajar di sini adalah sebuah partisipasi dalam proses belajar. Pengajar ikut aktif bersama siswa dalam membentuk pengetahuan, mencipta makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan memberikan penilaian-penilaian terhadap berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir secara kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri.

Sejalan dengan konstruktivisme, Ki Hadjar yang memakai semboyan “Tut Wuri Handayani”, menempatkan pengajar sebagai orang yang berada di belakang siswa, membimbing dan mendorong siswa untuk belajar, memberi teladan, serta membantu siswa membiasakan dirinya untuk menampilkan perilaku yang bermakna dan berguna bagi masyarakatnya. Pengajar harus banyak terlibat dengan siswa agar ia memahami konteks yang melingkupi kegiatan belajar siswa. Ia juga melibatkan siswa dalam menentukan apa yang hendak dibicarakan dalam kegiatan belajar-mengajar sehingga siswa benar-benar terlibat. Keterlibatan pengajar dengan siswa pada saat-saat siswa sedang berjuang menemukan berbagai pengetahuan sangat diperlukan untuk menumbuhkan rasa percaya siswa baik pada dirinya sendiri maupun pada pengajar.

Pengajar harus memiliki fleksibilitas pikiran yang tinggi agar dapat memahami dan menghargai pemikiran siswa karena seringkali siswa menampilkan pendapat yang berbeda bahkan bertentangan dengan pemikiran pengajar. Apa yang dikatakan oleh murid dalam menjawab sebuah pertanyaaan adalah masuk akal bagi mereka saat itu. Jika jawaban itu jauh bertentangan dengan prinsip-prinsip keilmuan atau membahayakan, maka pengajar harus hati-hati dalam memberi pengarahan. Jangan sampai pengarahan yang diberikan menghilangkan rasa ingin tahu siswa atau menimbulkan konflik antara pengajar dengan siswa. Dalam perkataan Ki Hadjar, “Si pendidik hanya boleh membantu kodrat-iradatnya “keadilan”, kalau buahnya segala pekerjaan dan keadaan itu tidak timbul karena adanya rintangan, atau kalau buahnya itu tidak terlihat nyata dan terang.”

Orisinalitas dan Progresivitas Ki Hadjar
Pada dasarnya, secara formal pendidikan yang dijalani oleh Ki Hadjar adalah pendidikan Barat. Dasar pemahaman tentang pendidikan diperolehnya dari teori-teori yang dikembangkan para pemikir Barat, di antaranya filsuf Yunani Sokrates dan Plato, tokoh pendidikan Friederich Fröbel dan Maria Montessori, Rudolf Steiner, Karl Groos, serta ahli ilmu jiwa Herber Spencer. Itu bisa kita lihat dari tulisan-tulisan Ki Hadjar yang banyak merujuk mereka.

Dari banyaknya rujukan yang digunakan, tampak jelas Ki Hadjar merupakan orang yang giat belajar dan berwawasan luas. Pemikiran-pemikiran yang dirujuknya adalah pemikiran-pemikiran mutakhir di jamannya. Ia tampak sebagai orang yang terus menambah dan mengembangkan pemahamannya tentang pendidikan. Saya menilainya sebagai tokoh yang progresif dan berorientasi ke depan dalam bidang pendidikan Indonesia. Tetapi yang menjadikan pemikiran Ki Hadjar berharga bagi Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan adalah kemampuannya menempatkan pemikiran-pemikiran mutakhir itu dalam konteks Indonesia. Ki Hadjar tidak hanya menyerap atau meniru pemikiran para ahli, melainkan memodifikasi dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Dalam karya-karyanya, dapat dicermati bagaimana Ki Hadjar mengembangkan teori dan sistem pendidikan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ia menganjurkan pelibatan keluarga sebagai agen utama dalam pendidikan. Sebagai contoh, dalam tulisannya “Mobilisasi Intelektual Nasional untuk Mengadakan Wajib Belajar” dalam Keluarga edisi Desember 1936 th. 1 no.2, Ki Hadjar mengajukan “Asas Kultural dan Sosial” dalam proses pembelajaran rakyat Indonesia, khususnya pembelajaran membaca dan menulis. Di situ ia mengemukakan ‘Methode-Keluarga’ sebagai “laku pengajaran, yang karena praktisnya, mudah dilakukan oleh tiap-tiap orang yang sudah pandai membaca untuk dipakai bagi tiap-tiap orang di dalam keluarga.” Dalam banyak tulisan, Ki Hadjar juga menempatkan pentingnya peran keluarga dalam pendidikan. Dalam tulisan “Pendidikan Keluarga” yang dimuat dalam Keluarga edisi Oktober 1937 tahun ke-1 no. 11, Ki Hadjar menyimpulkan perlunya anak-anak dikembalikan “ke dalam alam keluarganya”. Keluarga adalah hak anak dan oleh karena itu jangan merampas anak dari keluarganya. Di sisi lain, jangan juga keluarga membuang anak ke sekolah karena kebutuhan utama anak ada dalam keluarga.

Bagi Ki Hadjar, keluarga adalah alam yang paling penting bagi pertumbuhan anak. Apalagi di Indonesia, pola hidup kekeluargaan dan kelekatan orang dengan keluarga dinilai sangat penting. “Mulai dari kecil hingga dewasa anak-anak hidup di tengah keluarganya.” Begitu tulis Ki Hadjar. “Ini berarti bahwa anak-anak itu baik di dalam “masa peka”-nya ... maupun di dalam periode bertumbuhnya fikiran ... mendapat pengaruh yang sebanyak-banyaknya serta sedalam-dalamnya dari keluarganya masing-masing.” Keluarga merupakan lingkungan yang sangat bermakna bagi anak. Apa yang terjadi dalam keluarga merupakan fenomena yang dihayati anak sebagai peristiwa penting dan oleh karena itu dijadikan titik-tolak anak untuk belajar dan berusaha memahami dunia. Pendidikan yang tidak relevan dengan keluarga akan cenderung diabaikan anak sebab dinilai bukan sebagai hal yang bermakna.

Pemikiran Ki Hadjar tentang pentingnya keluarga sebagai komunitas yang bermakna bagi anak sejalan dengan konstruktivisme yang memandang bahwa pembelajaran dan perolehan pengetahuan pada anak akan terjadi jika dan hanya jika apa yang akan dipelajari dan diketahui itu relevan dengan kehidupan anak. Objek-objek yang bermakna (dalam arti dianggap penting) akan dikenali dan dipelajari sehingga representasinya disimpan dalam kognisi (pikiran) anak dalam bentuk pengetahuan. Sebaliknya objek-objek yang tak bermakna akan diabaikan oleh anak. Anak-anak memilih sendiri pengetahuan apa yang akan dikonstruksi dalam pikiran berdasarkan derajat kepentingannya. Lingkungan sosial, dengan keluarga sebagai pusat, memberikan dasar penting-tidaknya suatu pengetahuan bagi anak. Pemikiran ini juga sejalan dengan pemikiran Vygotsky (1978) yang menjadi salah satu dasar dari konstruktivisme-sosial.

Pemikiran tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia merupakan sumbangan orisinil dari Ki Hadjar. Meski dewasa ini sudah banyak ahli pendidikan dan psikologi pendidikan yang menekankan pentingnya konteks sosial-budaya tempat siswa hidup, tetap saja rumusan tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia yang komprehensif baru dikemukakan oleh Ki Hadjar. Dalam kumpulan karyanya tentang pendidikan (terbit ulang tahun 2004), kita temukan berbagai rumusan konsep pendidikan yang berkonteks Indonesia itu. Di antaranya dalam tulisan “Pendidikan dan pengajaran nasional”, “Taman Madya”, “Taman Siswa dan Shanti Niketan”, “Olah gending minangka panggulawentah/Olah gending sebagai pendidikan”, “Kesenian dalam Pendidikan”, “Faedahnya sistim pondok’, dan “Pengajaran budipekerti”. Di dalamnya juga termasuk pentingnya pendidikan memfasilitasi siswa untuk mempelajari etika, ada-istiadat dan budi-pekerti agar siswa nantinya dapat hidup mandiri dan ikut berkontribusi dalam masyarakatnya.

Penelusuran dalam karya-karya tulis Ki Hadjar memberi pelajaran penting bagi saya: orisinalitas dan progresivitas Ki Hadjar dalam hal pemikiran tentang pendidikan merupakan teladan berharga bagi Bangsa Indonesia. Orisinalitas itu lahir dari wawasan dan pemahaman yang luas tentang bidang pendidikan yang ia geluti, juga tentang kehidupan masyarakat dan budaya Indonesia. Tentunya pemahaman itu diperoleh melalui proses belajar yang panjang. Ketekunan dan kegigihan tercakup di dalamnya. Secara kreatif berbagai pemahaman dan pengetahuan itu diolah oleh Ki Hadjar untuk menghasilkan pemikiran yang khas dan orisinal. Di situ juga tampak jelas keterbukaan pikiran Ki Hadjar terhadap berbagai pandangan dan pemikiran tokoh-tokoh dunia. Ketekunannya mempelajari berbagai perkembangan baru dalam pendidikan memungkinkannya menyerap itu semua.

Keterbukaan pikiran disertai dengan kerangka orientasi ke masa depan melahirkan progresivitas pemikiran Ki Hadjar. Ia menjadi tokoh Indonesia yang berpikir ke depan melalui pergaulannya dengan banyak kalangan dari berbagai bangsa. Itulah yang menjadikan pikirannya tetap relevan hingga di abad ke-21 ini. Ia menggunakan berbagai pengetahuan yang dimiliki bukan sebagai resep atau dogma, melainkan sebagai alat untuk menganalisis dan memahami kenyataan hidup di masyarakat. Dari situ, saya memahami Ki Hadjar sebagai orang yang berorientasi pada masalah yang dihadapi, bukan pada aliran atau teori tertentu. Rumusan-rumusan konsep pendidikan yang dipaparkannya secara jelas menunjukkan keterlibatannya dengan persolan-persoalan pendidikan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia di masa ia hidup. Dari pergulatannya dengan berbagai persoalan itu, lahirlah pemikiran-pemikiran progresif yang memberi solusi konstruktif.

Orisinalitas dan progresivitas. Itulah yang menurut saya warisan amat berharga dari Ki Hadjar. Kita perlu meneladaninya, mengusahakan diri menjadi orang yang mandiri, mampu berpikir kreatif untuk menghasilkan solusi orisinal, berorientasi ke depan dan ikut memberi kontribusi kepada perkembangan masyarakat Indonesia. Untuk itu, lagi-lagi belajar dari Ki Hadjar, ketekunan dan kegigihan belajar serta kepedulian dan keterlibatan dalam persoalan Bangsa Indonesia perlu kita miliki.

Ditulis oleh Bagus Takwin
01 Desember 2007