2,4 ghz utk publik!. Jika kita memasuki dan mencoba memahami komunitas aktivis telematika tanah air, maka moto tersebut terasa akrab dalam 3 tahun terakhir ini sebagai sebuah spirit sekelompok anak bangsa yang mencita-citakan kemandirian ekonomi negerinya.
Semangat tersebut merupakan jiwa perjuangan yang dilakukan untuk menyikapi sikap regulasi pemerintah dalam bentuk sweeping atau bahkan terakhir labelisasi perangkat WLAN (wireless local area network) yang bekerja secara internasional di pita frekuensi yang "dianggap" bebas oleh banyak negara tersebut. Alasannya mulai dr peran pemerintah untuk menjaga fairness di frekuensi telekomunikasi yang wajar dan teratur sampai ke isu pundi-pundi pemerintah dalam bentuk pendapatan negara bukan pajak yang diistilahkan sebagai biaya hak pakai (BHP).
Kenapa ada BHP? Alasannya tentu saja karena pita frekuensi tersebut dipakai untuk bisnis. Itu benar. Tapi APBN yang sehat haruslah berpijak ke aspek 3 pilar kebijakan kemandirian perekonomian negara (baca: negara adalah kumpulan seluruh elemen bangsa, dimana pemerintah adalah salah satu bagian diantaranya).
Hanya mempertimbangkan cash-inflow (pilar 1: profit oriented) akan menjebakan kebijakan anggaran negara yang terlepas dari masyarakatnya atau hanya menjadi stimulasi semu yang bersifat parsial berjangka pendek. Harusnya ada fine tuning dengan faktor lainnya, yaitu fungsi fasilitator kegiatan perekonomian masyarakat yang kondusif (pilar 2: social capital) ataupun juga sebagai katalisator peningkatan kemampuan masyarakat berperan aktif dalam inovasi pertumbuhan ekonomi (pilar 3: natural capital).
Studi Lapangan: Kita Bangsa Kreatif
Mari kita coba bersama-sama menggeser paradigma kita tentang pembangunan infrastruktur. Selama ini kita "dijebakan" kepada perangkap pemikiran bahwa membangun infrastruktur perekonomian, apalagi berbasis teknologi informasi yang maju, adalah mahal dan berat.
Contohnya saja, kasus divestasi Indosat, fine tuning cash inflow APBN dilakukan dengan paradigma hanya pemain global (asing) yang mampu untuk membangun infrastruktur tersebut. Sayang momentum kebijakan seperti ini tidak dilakukan proses fine tuning dari angle yang berbeda, yaitu terintegrasi dengan upaya kampanye nasionalisme sebagai jiwa kebijakan untuk social dan natural capital masyarakat (baca: memancing masyarakat untuk membeli saham pemerintah dan katalisator untuk masyarakat berbisnis di lingkaran backbone yang telah dimiliki Indosat, agar nilai tambah aset tersebut berkelanjutan untuk perekonomian).
Ataukah kita memang sudah lupa dengan pribahasa yang diajarkan di Sekolah Dasar "sekali mendayung dua-tiga pulau terlampui". Sehingga,
jebakan yang kita ciptakan sendiri tersebut, selalu menjebakan kesan "seolah-olah" proses pengkerdilan potensi bangsa sendiri dengan selalu berpikir pentingnya pihak ketiga (baca: asing), baik itu kreditor maupun investor.
Kalau kita mau mencoba saja melihat apa yang terjadi sebenarnya, banyak sudah sikap protes yang berproses secara kreatif atas kondisi "terjajah ideologis" tersebut. Ambil contoh VoIP Merdeka (VoIP-M) yang diprakarsai Onno W. Purbo,Ph.D (OWP). VoIP-M secara subtansi telah menjadi icon demonstrasi secara konstruktif atas kenaikan tarif telpon yang memberatkan masyarakat. Konstruktif dalam artian solutif dan menstimulasi masyarakat untuk ikut memilikinya.
Opensource itulah prinsip yang dijalankan sebagai implementasi ekonomi kerakyatan oleh para aktivis telematika dunia dalam melawan kapitalisme teknologi. Dengan opensource inilah OWP memimpin gerakan VoIP-M, dengan membuat sentral telpon berbasis internet (gate keeper / GK) yang dapat diakses secara gratis oleh publik sepanjang terhubung ke internet.
VoIP-M menunjukan bahwa pendapat pembangunan infrastruktur yang tergantung kepada kekuatan pihak ketiga (i.e IMF, Bank Dunia, Investor Asing) adalah sebuah paradigma kebangsaan yang keliru. Caranya adalah dengan membuka dan mengajarkan programming pembuatan GK secara transparan, untuk kemudian sesama GK tersebut dapat saling berhubungan menjadi sebuah sarana telekomunikasi alternatif masyarakat yang merakyat.
Merakyat secara filosofi adalah melekat di hati rakyat. Bahasa bisnis menyatakan positioning produk seperti ini hanya akan terjadi pada saat masyarakat merasa ikut memiliki keberadaan produk tersebut.
Memang benar VoIP-M hanyalah aplikasi, yang terpenting adalah infrastrukturnya. Logika inilah yang sering memainkan logika kita bahwa membangun jaringan internet itu mahal, padahal internet yang luas adalah kunci berjalannya telekomuniksai murah yang ingin dicapai oleh gerakan VoIP-M.
Mahal dan eksklusifitas itulah yang sebenarnya keliru. Karena sebenarnya jauh di atas gerakan VoIP-M adalah idealisme membangun jaringan internet secara gotong royong oleh masyarakat. Caranya dengan menggunakan WLAN seperti yang dibuka dalam tulisan ini.
Model bisnis WLAN 2,4 ghz ini dikenal dengan sebutan RT-RWnet. Secara sederhana, penyelenggara jasa internet (ISP) bermitra dengan warga sebuah kompleks. Kemitraan ini membuka akses masuk ke pipa internet oleh ISP ke area kompleks dengan pemancar tanpa kabel di frekuensi 2,4 ghz.
Ada 2 cara penyebarannya ke masyarakat, (1) Poin akses nirkabel dari ISP ke area perumahan tersebut disebarkan dengan menarik kabel secara gotong royong ke rumah warga dan (2) Semuanya dilakukan secara nirkabel ke rumah-rumah. Dan yang terpenting, 2 hal tersebut pembangunan dan kepemilikannya di level mikro adalah masyarakat industri rumah tangga, bukan BUMN apalagi konglomerat.
Sangking kreatifnya dan semangatnya anak negeri ini, pemancar nirkabel sebagai alat komunikasi dibuat dari kaleng bekas (misalnya snack atau susu instant). Faktanya banyak sudah yang berhasil menciptakan alat komunikasi tersebut. Sayangnya, belum lagi semangat gotong royong ini jalan benar, pemerintah bukannya menangkap fenomena ini, malahan melakukan sweeping dan labelisasi perangkat 2,4 Ghz.
Fenomena VoIP-M dan RT-RWnet, memberikan hikmah bahwa faktor terpenting keluar dari masa krisis di era transisi ini adalah dengan jalan mengedukasi masyarakatnya. Masyarakat yang mengerti masalah akan mengakibatkan terjadinya proses gotong royong mengatasi pembangunan infrastruktur yang dibutuhkannya.
Fokus Ke Inti Masalah: Kesejahteraan Bangsa
Kalau mau ditelaah, krisis ekonomi di saat terjadinya proses globalisasi, mengakibatkan bangsa kita berada dalam fase telah terlanjur meninggalkan budaya agraris di saat budaya industri belum kita pegang benar. Ciri industrialis di era globalisasi adalah dimilikinya infrastruktur telekomunikasi berbasis teknologi oleh sebuah bangsa.
Dari data Asosiasi Perusahaan Jasa Internet Indonesia (APJII) celah kesenjangan infrastruktur (digital divide) yang kita miliki masih sangat besar, yaitu 97,82 % atau baru 2,18 % saja penduduk Indonesia yang telah memakai internet (data tahun 2002 4,5 Juta pemakai Internet, dengan asumsi menggunakan data populasi penduduk Indonesia dari BPS untuk sensus tahun 2000 sebanyak 206.264.595 Jiwa). Untuk mengatasi masalah mendasar masyarakat industri tersebut selama ini kita dibenturkan oleh dana, setidaknya itulah yang dijadikan isu kenaikan tarif telpon untuk rebalancing area yang belum tersentuh ataupun juga alasan strategic placement saham ISAT ke pemain global telekomunikasi (baca: asing). Sayangnya pendekatan tersebut adalah jebakan paradigma konglomerasi bukan pemerataan.
PT Telkom sebagai Kendaraan politik pemerintah dibenturkan hanya ke aspek cash inflow semata. Harusnya rebalancing dilakukan dengan menyertakan masyarakat untuk ikut memilikinya. Kalau kita cerdas, contoh ini ditunjukan oleh fenomena VoIP-M dan RT-RWnet, dimana pemantapan langkah ke masyarakat industri dilakukan dengan pendekatan budaya agraris, yaitu "gotong royong, pinternya rame-rame".
Selama ini yang terjadi adalah rebutan kue di sektor mikro, dengan ijin (labelisasi) sebenarnya mengarahkan kepada konglomerasi, meskipun itu BUMN. Artinya, secara korporasi terlalu dikerjar ke arah profit di level end-user yang sebenarnya bisa dibagai ke masyarakat untuk memilikinya dan bermitra dengan Telkom. Sehingga yang terjadi di komunitas adalah Telkom yang menjadi icon kebangsaan malah tidak disukai oleh sekelompok pemegang sahamnya dalam hal in sekelompok warga negara Indonesia yang memegan sunstansi saham pemerintah di perusahaan tersebut.
Lebih aneh lagi, gerakan semacam VoIP-M dan RT-RWnet malah selalu dilihat sebelah mata, sangat beda dengan rekomendasi IMF atau konsultan asing yang walau terkesan basi selalu mendapat tempat dalam perumusan kebijakan. Lucunya lagi, para kaum kreatif bangsa ini lebih banyak didengarkan oleh negara sedang berkembang lainnya, misalnya saja undangan yang diterima OWP di negara-negara Afrika.
Mungkin kita ada yang menjawab bahwa kita lebih maju dari negara tersebut. Rasanya kalau itu jawabannya, kita berada di jurang bangsa yang sombong dan munafik. Harusnya kita mendorong pemerintah untuk lebih menghargai kreatifitas dan potensi bangsanya sendiri. Bukankah visi pemerintahan adalah mensejahterakan bangsanya?.
Alangkah indahnya, jika kita memiliki pemerintah demokrat yang bijaksana, maka yang akan kita saksikan adalah kebijakan yang dapat menjadi stimulus menjamurnya gerakan koperasi warga (KopWar). KopWar inilah yang akan menjadi kendaraan bisnis yang berfungsi sebagai penghubung antara ISP dengan warga komplek perumahan. Artinya apa?, biarkanlah masyarakat didorong untuk punya jiwa wirausaha di level yang sangat mikro sekaligus menjadi agen solusi permasalahan di level makro pembangunan ekonomi bangsa.
Jiwa wirausaha inilah yeng merupakan dasar dari ciri masyarakat industri lainnya, yaitu komunitas dengan paradigma Capital Market Literate (CML). Kalau kita bermain dengan data lainnya, dari berbagai sumber dapat diperkirakan bahwa investor lokal yang bermain di pasar modal adalah sekitar 10.000. Artinya, dari populasi penduduk dewasa (di atas 19 tahun, data sensus penduduk tahun 2000 adalah 174.772.343 jiwa), indeks kesenjangan CML negara kita adalah sebesar 99,99 % atau hanya sekitar 0,01 % saja penduduk dewasa bangsa ini yang telah mengenal pasar modal.
Kalau kita mau beranjak sedikit ke data di atas, maka sudah sewajarnyalah kita mempertanyakan kebijakan yang selama ini terfokus kepada kenyamanan investor asing tidaklah terlampau efektif. Sudah saatnya pemerintah menyentuh data tersebut dengan jalan menyertakan masyarakat untuk terlibat aktif. Dengan tumbuhnya rasa memiliki dari masyarakat akan instrumen perekonomian negaranya akan menyebabkan kegairahan ekonomi dan likuiditas investasi pasar modal bergerak secara berkelanjutan.
Katakan saja Internet masih menyentuh masyarakat kelas menengah, dimana dari pemakaian itu sendiri masih terkendala dengan biaya beban pulsa internet dengan jalan dial-up, apalagi Telkom terus bersemangat untuk menaikan tarifnya, maka yang harus dilakukan adalah pembangunan infrastruktur internet dengan tarif tetap selama 24 jam non-stop. Disanalah, angle yang harus kita ambil untuk memahami perkembangan WLAN sebagai sebuah solusi cerdas mengatasi masalah biaya koneksi internet. Bahkan dengan terhubung ke internet, seperti telah dikemukakan di atas pembangunan komunikasi suara (telpon) dengan teknologi VoIP-M dapat pula dilakukan. Bukankah dengan cara ini, rebalancing dapat dilakukan secara bersama-sama dengan perluasan akses internet untuk keperluan lainnya yang lebih besar untuk siklus perekonomian negara?.
Gampangnya, WLAN 2,4 Ghz ini akan mengarahkan pembagian pipa internet yang dimiliki oleh ISP ke akses point kompleks perumahan warga untuk 24 jam non stop (atau sama persis dengan internet yang kita pakai di kantor). Ambil contoh, ada penyelenggara ISP yang “berani” menarik iuran per bulan per akses point sebesar Rp. 400 Ribu untuk pipa internet sebesar 2 MBps (sebagai gambaran saja di perkantoran saja rata-rata belanja internet adalah 64 KBps yang digunakan untuk sekitar 300 karyawan).
Investasi WLAN 2,4 GHZ tersebut sampai ke akses point kompleks “berani” ditanggung oleh ISP, kemudian dari akses point tersebut menyebar ke rumah warga dengan jalan menggunakan kabel dan hub (kabel dan hub inilah investasi dari warga). Idealnya untuk konsumsi aplikasi internet yang beragam (bukan hanya untuk e-mail, tapi juga surfing dan e-Commerce), maka dibutuhkan per pengguna sekitar 500 KBps. Sedangkan Investasi yang dikeluarkan warga hanyalah kabel dan hub. Untuk kompleks dengan luas sekitar 1 km persegi biaya investasi yang dikeluarkan tidak akan lebih dari Rp. 10 Juta. Dan tentu saja, komputer di rumah pun dapat diperoleh dengan cara leasing (sewa guna).
Mari kita berilustrasi, warga kompleks dengan penghuni sebanyak 100 rumah membentuk KopWar yang dapat menjadi mitra dari ISP sebagai akses point di kompleks tersebut. Untuk Investasi awal, artinya per anggota akan dibebankan sebesar Rp 10 Juta dibagi 100, yaitu Rp. 100 Ribu. Iuran bulanan tanpa marjin untuk per rumah dengan kapasitas Rp. 100 Ribu. Jika pipa per rumah diperkecil lagi menjadi 10 KBps (yang cukup untuk konsumsi e-mail, surfing dan VoIP-M yang dijalankan sendiri-sendiri / single tasking), maka biaya per bulannya menjadi Rp. 20.000. Angka tersebut, jauh lebih kecil dari abodemen bulanan dari telkom, namun sudah bisa ber-internet ria selama 24 jam non-stop.
Ilustrasi hitungan sederhana di atas dilakukan dengan dasar asumsi bahwa KopWar yang dibentuk adalah model paguyuban dan bersifat non-profit atau tanpa marjin. Namun perlu diingat, kompleks kelas menengah tentunya berisi penduduk yang “mungkin” tidak mau direpotkan dengan proses penarikan kabel dari rumah ke rumah maupun juga proses perawatannya, maka sudah secara fisibilitas KopWar dengan model usaha yang dikelola secara profesional. Caranya adalah dengan menyertakan warga di sekitar kompleks yang kebanyakan secara ekonomi banyak pengangguran dan di bawah tingkat hidup dari warga perumahan.
Warga belakang inilah yang sangat banyak tamatan STM diberdayakan untuk mendapat pengetahuan soal WLAN dan networking. Mereka inilah yang akan menjadi karyawan dari KopWar tersebut, dimana untuk membiayainya diperlukan pula komponen biaya tambahan untuk gaji pegawai. Artinya, terdapat marjin tambahan dari biaya beban belanan yang ditari ke warga yang juga sekaligus marjin keuntungan agar KopWar tersebut menjadi “kendaraan” wirausaha dan pendapatan lain-lain dari para investor-nya (Model Koperasi = Anggotanya).
Walaupun berawal dari kebutuhan kelas menengah, ilustrasi di atas telah merambat ke arah kemitraan yang strategis yang bersifat pemberdayaan masyarakat bawah di sekitarnya. Bagaimana halnya dengan masyarakat pedesaan?, tentunya ini bisa dipperoleh dengan jalan koperasi modal ventura yang mau menjadi mitra dari KopWar petani dalam pembentukan komponen investasinya. Mungkin kita bertanya untuk apa Petani Internet?, maka jawabannya adalah untuk media broadcasting komunitas dengan memanfaatkan jaringan internet untuk sarana tatap muka, dimana solusi VoIP-M pun dapat digunakan untuk vidoe conference dengan tambahan web cam. Terbiasa dengan web cam dengan sentuhan edukasi yang pas, maka petani dan nelayan akan mulai dapat digerakan untuk memiliki akses point penjualan atau jalur distribusi di internet, atau dengan kata lain lambat laun peran tengkulak yang terjadi karena jarak komunikasi dapat dikurangi.
APBN Tepat Sasaran
Dengan model operasional tersebut di atas, maka pemerintah akan mendapatkan tambahan pundi-pundi APBN dari komponen Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dari tarif yang ditarik oleh KopWar ke Warga, Pajak Penghasilan (PPh) dari KopWar yang melaba maupun juga gaji pegawai “warga belakang” KopWar, dan tentu saja peningkatan pendapatan ISP dari aspek PPn dan PPh, serta tentu saja peningkatan komponen Deviden PT Telkom yang menjadi muara akhir jaringan data telekomunikasi nasional. Kalau pemerintah, mau sedikit kreatif dan berpikir dingin, mari kita hitung apakah BHP dan penerimaan dari Divestasi jauh lebih menguntungkan dari peningkatan penerimaan PPn dan PPh tersebut?. Rasanya jauh lebih menguntungkan dengan cara menstimulasi model KopWar, karena disamping hitungan matematis APBN, model ini juga memberikan kepastian terpenuhinya aspek psikologis dari APBN, yaitu misalnya saja masalah pengangguran dan tumbuhnya perekonomian.
Melalui ilustrasi sederhana di atas, pendekatan strategi pembangunan ekonomi nasional dengan jiwa “Dari RT-RW Ke Internet Menuju Pasar Modal” telah melahirkan langkah nyata menuju masyarakat Industri dengan pendekatan budaya agraris (bergotong royong). Setidaknya ini merubah “mind-set” kita yang memaksakan pendekatan Industri di tengah masyarakat yang tidak ikut dilibatkan dalam industrialisasinya, seperti rekomendasi IMF yang selama ini terjadi. Capaiannya adalah dicapainya masyarakat industri dengan teratasinya masalah digital divide di Internet dan juga terbiasanya masyarakat menjadi investor untuk hal yang sepele, sehingga terbiasa menjadi investor adalah edukasi paling berharga untuk kemandirian ekonomi yang bertumpu kepada kekuatan pemodal lokal di pasar modal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.