Siapakah diri saya yang sebenarnya?
Saya bukan sedang amnesia, juga bukan orang yang tidak waras.
Apa yang saya tanyakan adalah sebuah pertanyaan yang sangat sederhana yang mungkin dirasa terlalu tolol bagi orang-orang yang merasa dirinya pintar.
Kenyataannya saya tidak tahu persis apakah perasaan mereka tentang diri mereka yang pintar lebih akurat dari kenyataan sebenarnya yang ada di lapangan.
Pertanyaan itu mungkin terlalu sederhana. Namun jawaban yang bisa dihasilkan mempunyai potensi menjadi lebih dari sekedar jawaban yang secara umum membuat orang mengantuk.
Jika kita berpikir seperti orang kebanyakan, pertanyaan seperti itu mungkin akan dijawab dengan memberikan nama, atau profesi atau jabatan, atau kewarganegaraan. Namun bagi orang yang pemikirannya mencakup ruang lingkup yang jauh lebih luas mungkin akan mempunyai jawaban yang sama-sekali tidak biasa dan membuat kita tergelitik untuk mengetahui lebih lanjut.
Seperti misalnya jika saya ditanya pertanyaan seperti itu, mungkin saya akan menjawab bahwa saya bukan orang yang tidak bisa diandalkan namun juga bukan orang yang bisa diandalkan.
Saya adalah saya, seorang anak laki-laki yang biasa saja, seorang yang hanya tahu berbuat yang terbaik tanpa dibebani harapan orang lain tentang anggapan bahwa saya orang yang bisa diandalkan atau tidak bisa diandalkan.
Sejujurnya saya tidak terlalu peduli bagaimana orang lain memandang saya, saya berusaha untuk fokus kepada diri saya sendiri. Saya bertanya kepada diri saya sendiri… “Siapa saya sebenarnya”? – Lalu saya menjawabnya sendiri : ”Saya bukan siapa-siapa namun hanya seseorang”. Tidak kurang dan tidak lebih, tidak ada penitikberatan pada reputasi ataupun citra yang dibangun melainkan hanya sebuah pribadi yang berkembang secara alami layaknya buah pisang yang tumbuh dari sebatang pohon pisang.
Lalu jawaban apa lagi yang bisa muncul dari pertanyaan : “Siapa saya?”
Mungkin hanya orang lain yang akan bercerita panjang tentang siapa diri saya. Mereka akan bercerita mengenai apa yang mereka lihat dan menilai dengan pengetahuan yang mereka rasa paling benar. Itu sama sekali kurang penting, namun jika saya sendiri tidak mampu mengenali diri saya sendiri maka saya juga akan gagal mengenali realitas murni dari hidup ini.
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa pengenalan diri yang paling ultimit adalah pengenalan secara holistik, dan bukannya sebagai individual demi sebuah pencapaian yang sebenarnya tidak terlalu signifikan.
Saya,
I Dw Gd Erick Krisna Arinjaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.